Sempat sedikit kaget, ketika kami mendengar seorang teman yang pulang ke Tuban (Jawa Timur) naik bus jurusan Jogja-Surabaya turun di Jombang. Tepat ketika turun dari bus, tukang becak, ojek, dan kernet angkot serempak menawarkan jasa tunggangan untuk ke satu arah.. “Ponari… Ponari… Ponari…”, setelah jauh bertolak dari kabupaten Jombang ke arah utara, hampir semua awak bus jurusan Jombang teriak-teriak “Ponari… Ponari… Ponari…”. Laris manis.. seolah hampir semua orang yang menuju ke Jombang diduga kuat mau menuju seorang bocah yang memiliki batu kecil, yakni Ponari. Tak heran jika harus ada ribuan orang rela antri bahkan sampai rela untuk mempertaruhkan nyawanya demi mendapatkan “bau batu ajaib” yang bercampur “keringat tangan” bocah.
Ditambah lagi sikap para pakar dalam menanggapi masalah ini. Pendapat pro dan kontra bermunculan. Namun sayangnya, tinjauan mereka hanya baru pada taraf kajian sisi ekonomi, stabilitas sosial, dan hak asasi anak. Hampir tidak ada tokoh nasional yang membahas masalah ini dari sudut pandang aqidah. Seolah semua telah buta kalau kasus ini erat kaitannya dengan masalah aqidah. Jika jajaran tokoh masyarakat bersikap semacam ini, bagaimana lagi dengan orang awamnya[?] Wajar saja jika kesyirikan di Indonesia begitu laris manis dan bahkan telah menjadi selera massa.. kita ucapkan: innaa lillaahi wa inna ilaihi raaji’uun…ada musibah besar yang menimpa kaum muslimin… rela berkorban demi untuk melakukan kesyirikan. Sungguh benar apa yang disabdakan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Syirik di umat ini (umat Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam) lebih samar dari pada jejak semut.” (HR. Ahmad. Dishahihkan oleh Al Albani dalam tahqiq beliau untuk kitab Al Iman karya Syaikhul Islam). Perhatikanlah wahai saudaruku kaum muslimin, betapa samarnya syirik yang digambarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jika noda syirik ini hanya dilihat sekilas tanpa diamati dengan seksama, maka tidak akan mungkin bisa kelihatan. Itulah ujian bagi kita umat islam, tidak ada yang bisa selamat dari ujian ini kecuali orang yang mendapat rahmat Allah. Untuk memahami kasus batu Ponari dari tinjauan aqidah, silakan baca penjelasan berikut ini:
Hukum mengambil sebab. Keberhasilan untuk mencapai apa yang diharapkan semua tergantung pada sebab. Seseorang akan bisa meraih apa yang dia inginkan jika dia menggunakan sebab-sebab yang bisa mengantarkan ke arah sana. Sebaliknya, jika orang tidak menggunakan sebab tersebut maka sangat sulit untuk bisa mendapatkan apa yang dia cita-citakan. Dengan takdir Allah, setiap kejadian telah ditetapkan sebabnya. Orang sakit ingin sembuh, Allah takdirkan sebabnya dengan berobat. Orang bodoh ingin jadi pintar, Allah takdirkan sebabnya dengan belajar, dst. Namun di sana ada beberapa cara penggunaan sebab yang melanggar syariat. Ada yang hukumnya makruh, haram, bahkan sampai pada tingkat kesyirikan. Berikut adalah rinciannya:
Ada 2 kriteria yang harus terpenuhi dalam pengambilan sebab, yaitu: – kriteria zhahir, yaitu kriteria yang terkait dengan sebab yang digunakan, – kriteria batin, yaitu kriteria yang terkait dengan orang yang menggunakan sebab.
Kriteria Zhahir Dalam Mengambil Sebab
Suatu sebab bisa dianggap telah memenuhi kriteria zhahir jika terpenuhi salah satu di antara dua syarat:
Pertama, masuk akal dan terbukti secara empirik. Artinya sebab tersebut merupakan bagian dari hasil pengalaman dan penelitian ilmiah yang menyatakan bahwa sesuatu tersebut merupakan sebab munculnya sesuatu yang lain. Misalnya: makan adalah sebab kenyang, belajar merupakan sebab bisa mendapatkan ilmu, bekerja merupakan sebab untuk mendapatkan penghasilan, dst.
Kedua, sesuai dengan syari’at (sebab syar’i). Artinya Allah tetapkan sebab tersebut melalui wahyu yang disampaikan kepada Nabi-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam. Atau dengan kata lain, sebab syar’i adalah sebab yang ditetapkan berdasarkan dalil, baik Al Qur’an maupun As Sunnah, meskipun sebab tersebut tidak masuk dalam lingkup penelitian ilmiah. Misalnya: – Ruqyah (membacakan Al Qur’an untuk orang yang sedang sakit) merupakan salah satu sebab untuk sembuh. Hal ini sebagaimana sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Ruqyah itu sangat mujarab jika dibacakan pada orang yang terkena penyakit ‘ain dan demam.” (HR. Bukhari). – Sedekah merupakan salah satu sebab kesembuhan. Hal ini berdasarkan hadits, “Obatilah orang-orang yang sakit dengan sedekah.” (HR. Al Baihaqi dan Thabrani, dishahihkan Syaikh Al Albani) – Pandangan mata tajam kepada orang lain karena rasa takjub atau dengki bisa menyebabkan orang yang dilihat menjadi sakit. Keadaan ini sering disebut “ ’A-in”. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam telah menyatakan, ‘A-in itu benar adanya” (HR. Al Bukhari) Perkara-perkara di atas merupakan sebab yang ditetapkan syariat berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, meskipun secara nalar hal itu tidak masuk akal. Dalam kajian kedokteran tidak dibahas hubungan antara bacaan Al Qur’an, sedekah, dan pandangan mata dengan penyakit. Dari sisi medis sama sekali tidak bisa diuji dan dikaji. Karena masalah ini di luar kajian ilmu medis. Namun hal ini ditetapkan sebagai sebab berdasarkan dalil dan bukan berdasarkan penelitian ilmiyah. Berbeda dengan obat-obatan dokter, meskipun obat-obatan ini tidak ada dalam dalil, namun pengobatan ini telah terbukti ilmiyah secara medis. Keluar dari persyaratan ini berarti sebab tersebut tidak memiliki hubungan sebab akibat dengan kejadian tertentu. Sementara terdapat kaidah:
“Barangsiapa yang menggunakan suatu sebab sementara sebab itu tidak memenuhi dua persyaratan di atas maka dia telah melakukan syirik (kecil).”
Dikatakan sebagai perbuatan syirik karena orang yang melakukan perbuatan itu berarti telah berdusta atas nama Allah dalam masalah taqdir dan syari’at. Artinya orang tersebut meyakini bahwa Allah mentaqdirkan suatu sebab padahal Allah sama sekali tidak menjadikannya sebagi sebab. Oleh karena itu, jika ada seseorang yang mengklaim bahwasanya benda A atau cara A bisa digunakan sebagai obat atau sarana terapi penyembuhan maka untuk bisa diterima pernyataannya harus diuji terlebih dahulu dengan dua syarat di atas. Yang pertama kita tentukan, apakah benda atau cara tersebut telah terbukti secara ilmiah ataukah tidak? Jika tidak terbukti secara ilmiah, maka harus memenuhi persyaratan kedua, apakah ada dalil yang menyatakan bahwa benda A atau cara A merupakan obat ataukah tidak? Jika tidak ada dalilnya maka benda A atau cara A ini tidak memiliki hubungan sebab akibat, dan pelakunya telah terjerumus ke dalam syirik kecil.
Untuk memudahkan pemahaman, mari kita bawa penjelasan di atas pada kasus “Ponari”. Sebagian orang meyakini bahwa batu kecil yang dimiliki ponari mampu menyembuhkan penyakit. Dalam kasus ini, masyarakat tersebut menganggap bahwa batu milik Ponari merupakan sebab sembuhnya penyakit. Namun, benarkah anggapan bahwa batu tersebut memiliki hubungan sebab akibat dengan penyembuhan penyakit? Jawabannya bisa ditimbang dengan dua persyaratan di atas. Syarat pertama, bagaimanakah kesimpulan pakar medis terhadap batu milik Ponari, apakah bisa dijadikan obat ataukah tidak? Jika para pakar medis berkesimpulan bahwa batu tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan obat karena tidak terbukti secara ilmiah, maka syarat pertama gagal terpenuhi. Kemudian kita beralih pada syarat kedua, apakah batu Ponari tersebut ada dalilnya dalam Al Qur’an atau Hadits? Jika tidak ada maka bisa disimpulkan bahwa batu Ponari tersebut bukanlah sebab kesembuhan dan tidak bisa dijadikan obat. Oleh karena itu, jika ada orang berkeyakinan bahwa batu Ponari adalah obat berarti dia telah terjerumus dalam syirik karena dia telah menganggap Allah menakdirkannya sebagai obat padahal bukan obat. Dengan memahami kaidah dan teori ini, kita bisa mendapatkan jawaban dari setiap masalah yang tersebar di masyarakat terutama yang terkait dengan pengobatan Alternatif. Kasus pengobatan terapi CERAGEM, BATU GIOK, BIOENERGI, senam YOGA, TENAGA DALAM, JIMAT, sampai pada kasus rebutan tahi KEBO BULE, semuanya bisa dijawab dengan kaidah ini. Intinya segala sesuatu yang dianggap sebagai obat, bisa dijadikan sebagai obat jika terpenuhi persyaratan hubungan sebab akibat, yaitu dua syarat di atas.
Catatan: 1. Jika ada orang yang menggunakan sebab yang sesuai kriteria pertama namun sebab itu adalah sebab yang haram maka dinilai sebagai kemaksiatan dan bukan kesyirikan. Misalnya, untuk lulus ujian dengan nilai baik seseorang mengambil sebab dengan menipu atau mencontek. 2. Telah dijelaskan bahwa orang yang mengambil sebab namun tidak terpenuhi kriteria pertama maka dia terjerumus ke dalam syirik kecil.
Namun keadaan ini bisa menjadi syirik besar yang menyebabkan pelakunya jadi kafir jika pelakunya melakukan dua hal:
– Dia meyakini bahwa kejadian hubungan sebab-akibat tersebut keluar dari taqdir Allah. Patut dibedakan bahwa yang dinilai sebagai syirik kecil adalah jika orang yang menggunakan sebab yang tidak memenuhi dua kriteria di atas masih meyakini bahwa sebab tersebut berpengaruh dengan taqdir Allah. Namun jika diyakini bahwa sebab tersebut berpengaruh di luar taqdir Allah maka hukumnya menjadi syirik besar. Misalnya, orang yang berobat dengan batu “Ponari”.
Jika dia meyakini bahwa batu tersebut bisa menyembuhkan dengan taqdir Allah maka hukumnya syirik kecil. Namun jika diyakini bahwa batu tersebut bisa menyembuhkan dengan sendirinya di luar taqdir Allah maka hukumnya syirik besar. Hal ini perlu untuk ditegaskan mengingat adanya sebagian orang yang beranggapan bahwa selama orang itu masih meyakini kalau yang mentaqdirkan pengaruh sebab itu adalah Allah maka tidak dinilai kesyirikan.
– Ketika menggunakan sebab tersebut, orangnya harus melakukan ritual tertentu terhadap benda itu agar dia bisa berpengaruh maka dia terjerumus ke dalam syirik besar yang dapat menyebabkan pelakunya keluar dari islam. Meskipun ritual tersebut dibalut dengan kedok ajaran islam, seperti puasa ngebleng, puasa tiga hari tanpa berbuka, dzikir-dzikir yang tidak ada tuntunannya dalam syariat, shalat ratusan rakaat, dan yang semacamnya. Karena pada hakekatnya orang tersebut telah menyerahkan peribadatan kepada selain Allah. Dia melakukan ritual-ritual yang dibuat mirip dengan ajaran islam tersebut tujuannya bukan untuk Allah tetapi untuk benda. Kasus ini banyak dijumpai pada orang yang “demen” dengan jimat. Orang yang menggunakan jimat untuk kesaktian, kekebalan, atau susuk kecantikan umumnya melakukan ritual-ritual tertentu sebelum menggunakannya dengan harapan jimat tersebut bisa berpengaruh.
Kriteria Batin Ketika Mengambil Sebab
Setelah mendapatkan suatu sebab yang dizinkan oleh syariat, yaitu sebab yang memenuhi salah satu dari dua syarat kriteria zhahir di atas, berikutnya kita diharuskan menata hati dan batin ketika menggunakan sebab tersebut. Ada dua hal yang harus dilakukan ketika orang menggunakan sebab:
Pertama, hati harus tetap bersandar kepada Allah dan tidak bersandar kepada sebab. Maksudnya, ketika menggunakan sebab tersebut untuk mencapai apa yang diinginkan, hati harus tetap bertawakkal kepada Allah dengan tetap memohon pertolongan kepada-Nya agar sebab tersebut bisa memberikan pengaruh. Hatinya tidak boleh condong kepada sebab tersebut sehingga pasrah sepenuhnya kepada sebab dan bukan kepada Allah. Orang yang hatinya condong dan terlalu bersandar pada sebab maka dia terjerumus ke dalam syirik kecil, meskipun dia meyakini bahwa Allah-lah yang mentaqdirkan segala sesuatu. Misalnya, ada orang berobat ke dokter. Agar tidak melanggar larangan dalam aqidah, orang tersebut tetap harus bersandar kepada Allah dan tidak boleh pasrah kepada dokter. Ada beberapa indikasi yang menunjukkan bahwa seseorang telah bersandar pada sebab, di antaranya: – Merasa yakin akan keberhasilan dalam melakukan sesuatu setelah menggunakan sebab tertentu. Misalnya, merasa yakin bisa sembuh karena obat yang diberikan dokter. – Merasa sedih dan kecewa berat terhadap kegagalan padahal dirinya telah melakukan langkah-langkah yang terbaik.
Kedua, tetap berkeyakinan bahwa apapun kehebatan sebab tersebut semua tergantung pada taqdir Allah. Artinya jika Allah menghendaki sebab itu berpengaruh, maka akan menghasilkan akibat. Sebaliknya jika Allah menghendaki tidak berpengaruh, maka tidak akan menghasilkan apa-apa. Jika ada orang yang berkeyakinan bahwa ada sesuatu yang bisa berpengaruh di luar taqdir Allah, maka dia terjerumus ke dalam syirik besar, karena dia telah menganggap adanya penguasa taqdir selain Allah. Apa perbedaan pelanggaran pada kriteria batin yang pertama dan pelanggaran pada kriteria batin yang kedua? Untuk pelanggaran pada kriteria batin yang pertama orang tersebut masih meyakini bahwa Allah-lah yang mentaqdirkan terjadinya sebab akibat. Namun dirinya terlalu bersandar kepada sebab dan bukan kepada Allah. Pelanggaran ini berdampak pada kasus syirik kecil atau para ulama sering mengistilahkan dengan syirik khofi (samar). Sedangkan pelanggaran pada kriteria batin yang kedua, orang tersebut meyakini bahwa hubungan sebab-akibat tersebut terjadi di luar taqdir Allah. Di antara bentuk pelanggaran ini adalah sikap sebagian orang mengingkari mukjizat kenabian. Seperti mengingkari kebenaran mukjizat Nabi Ibrahim ‘alaihis salam yang selamat ketika dibakar api. Dia menganggap tidak mungkin tubuh manusia bisa tahan dari kobaran api yang menyelimutinya. Kemudian dia mendustakan kisah Ibrahim ‘alaihis shalatu was salam. Padahal bisa jadi hal itu terjadi jika Allah berkehendak. Yang terakhir, perlu kami ingatkan bahwa syirik kecil bukanlah dosa kecil. Syirik kecil dosanya lebih besar dibandingkan dosa besar. Besar maupun kecil, syirik adalah bentuk kezhaliman yang besar terhadap hak Allah. Jika dosa ini dibawa mati sebelum bertaubat maka Allah tidak akan mengampuninya. Berbeda dengan dosa besar. Ada kemungkinan Allah mengampuninya jika Allah menghendaki. [Rujukan pembahasan di atas: Al Qoulus Sadid Syarah Kitab Tauhid, Syaikh As Sa’di dan Mutiara Faidah Kitab At Tauhid, Ust. Abu Isa hafizhahullah]
Sebagian Ada yang Sembuh Setelah Minum Air “Ponari Sweat”
Perlu diketahui bahwa sesuatu yang benar terjadi belum tentu dibenarkan. Sihir mungkin bisa mendatangkan keuntungan, di samping mendatangkan kerugian. Dengan sihir, suami istri yang hubungannya retak bisa disatukan kembali. Namun, kalau ini benar terjadi, sihir tetap tidak dibenarkan. Allah telah menyatakan bahwa orang yang melakukan sihir tidaklah beruntung di dunia dan akhirat. Maka melakukan sihir tetap terlarang. Bahkan mengenai bahaya sihir juga sebenarnya sudah diketahui yaitu tidak mendatangkan manfaat dan mendatangkan kerugian di akhirat. Allah Ta’ala berfirman,
وَيَتَعَلَّمُونَ مَا يَضُرُّهُمْ وَلَا يَنْفَعُهُمْ
“Dan mereka mempelajari sesuatu yang tidak memberi mudharat kepadanya dan tidak memberi manfaat.” (QS. Al Baqarah [2] : 102)
Begitu pula ada yang berdo’a dengan do’a yang haram dan do’anya dikabulkan. Ini menunjukkan bahwa belum tentu yang dia lakukan diridhoi oleh Allah. (Iqtdho’ Ash Shirothil Mustaqim, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, Tahqiq : Dr. Nashir ‘Abdul Karim Al ‘Aql, 2/214-215) Begitu pula ada yang berobat dengan cara yang haram bahkan bernilai kesyrikan seperti mendatangkan bantuan jin, lalu tiba-tiba penyakitnya itu sembuh dengan melakukan semacam ini, maka ini juga tidak menunjukkan bahwa melakukan perbuatan semacam ini dibenarkan dan diridhoi. Juga dalam kasus Ponari ini, jika memang ada yang mendatangi Ponari, lalu meminum air “Ponari Sweat”, lalu sembuh, maka ini juga tidak menunjukkan bahwa pengobatan tersebut dibenarkan.
Jadi ingatlah selalu kaedah ini:
“Sesuatu yang riil (nyata) terjadi, belum tentu benar dan diridhoi.”
Bahkan barangkali ini adalah kebinasaan perlahan-lahan yang sengaja Allah berikan melalui kesembuhan setelah minum air ponari. Karena tidak selamanya nikmat diberikan karena kemuliaan seseorang. Boleh jadi tanpa dia rasakan, dia terlena pada kenikmatan yang Allah berikan melalui kesembuhan, harta, umur, dan sebagainya. Namun akhirnya, keadaan orang ini akan binasa. Oleh karena itu, janganlah kita terperdaya dengan kenikmatan yang semu. Jadi semata-mata sembuh setelah minum air ponari tidak menunjukkan benarnya pengobatan tersebut. Ingatlah baik-baik hal ini. Allahu waliyyut taufiq… Demikian yang bisa kami sampaikan semoga kita diselamatkan dari berbagai macam fitnah. Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi wa sallam.
[Penulis: Ammi Nur Baits, dilengkapi oleh Muhammad Abduh Tuasikal. Artikel Buletin At Tauhid yang terbit, 20 Maret 2009]
Baca Juga: